Banyak program memperbaiki sungai Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat, yang dijuluki sungai terkotor di kolong langit. Tiap gubernur punya program sendiri dengan anggaran tak sedikit. Ada Citarum Bergetar, Citarum Lestari, Citarum Bestari. Semuanya gagal. Kini muncul Citarum Harum. Kali ini perbaikan lebih masif dan bergaung karena kebijakannya langsung di tangan presiden. Tahun pertama Citarum Harum perbaikan sungai yang berakhir di Muara Gembong Bekasi ini belum terlalu signifikan, tapi menjanjikan. Salah satunya karena vetiver tanaman penyerap limbah beracun. Perlu pola pikir menyeluruh di semua lapisan masyarakat.
JAWA BARAT beruntung punya Doni Monardo. Tentara berpangkat mayor jenderal kelahiran Cimahi 1963 ini langsung mengentak ketika ditunjuk menjadi Panglima Komando Daerah Militer III Siliwangi pada Oktober 2017. Doni, kini menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengerahkan 1.400 prajurit untuk membersihkan sungai Citarum.
Pemicunya adalah video berdurasi 24 menit yang diunggah Seyi Rhodes, wartawan investigasi keturunan Nigeria asal London, yang memproduksi serial Unreported World untuk BBC, Chanel 4, dan Five Television. Pada 15 November 2017, Rhodes mengunggah liputan berjudul The World Dirtiest River yang menunjukkan sisi terburuk sungai Citarum yang penuh dengan limbah dan sampah.
Tumpukan sampah tidak hanya terlihat di bantaran namun juga menutupi seluruh badan sungai bahkan ada pula bangkai kambing hingga kasur. Air sungai sepanjang 269 kilometer itu tampak sangat kotor dan berbau menyengat. Di beberapa bagian airnya mengalir hitam.
Video itu menggegerkan Indonesia. Setelah mendengar pendapat kolega dan para ahli hidrologi, Doni segera meluncur ke Cisanti, hulu Citarum 60 kilometer dari kota Bandung, yang dipenuhi sampah dan eceng gondok. Ia memerintahkan anak buahnya memulai pembersihan sungai yang mengalir hingga laut Jawa itu dari mata airnya.
Setelah itu ia membagi Citarum ke dalam 23 sektor. Ia tempatkan satu kolonel yang membawahkan 200 tentara di tiap sektor untuk membersihkan sungai dan mengedukasi masyarakat agar tak buang sampah ke badan air.
Bersih-bersih itu diintegrasikan dengan perbaikan hulu. Tak hanya mengeduk situ Cisanti, tapi juga membuat kebun pembibitan pohon di kaki Gunung Wayang yang lereng-lerengnya dirambah penduduk dan ditanami tanaman semusim, berupa sayuran yang cepat menghasilkan. Perambahan terjadi sejak 1998 di lahan-lahan milik Perhutani. Akibatnya gunung gundul dan longsor, yang menutup jalur-jalur sungai di wilayah perbukitan.
Di hilir bencana Citarum sudah membuat sengsara penduduk Bandung. Ketika redaksi Forest Digest hendak mengunjungi Cisanti dari Sangkanhurip pada 20 April 2019, kami terjebak banjir di Kampung Cibadak, Baleendah, yang berada di jalur sungai besar ini. Menurut penduduk setempat, banjir sudah merendam kampung mereka tiga bulan. Ketinggian air mencapai atap rumah dua lantai.
Penduduk kampung bahkan menyediakan perahu untuk transportasi warga desa. Sebagai pusat kota Jawa Barat, Bandung tak pernah sepi dalam 24 jam. Perahu-perahu itu beroperasi hingga tengah malam mengangkut penduduk yang bekerja hingga larut. “Banyak yang sudah mengungsi ke kampung sebelah,” kata seorang penduduk, yang malam itu berjaga karena cemas rumahnya tiba-tiba terendam air coklat.
Agaknya, bencana itu telah jadi rutin di Bandung. Menurut catatan Badan Penelitian, Perencanaan, dan Pengembangan Daerah Jawa Barat, ada 92 ruas jalan di 13 kecamatan di Kabupaten Bandung yang selalu terendam tiap kali air Citarum meluap. Di Baleendah itu lebih dari 1.000 hektare terendam atau 38 persen wilayah. Banjir terluas di Bojongsoang yang terungkup banjir hingga 80 persen wilayah seluas 2.800 hektare.
Semua problem Citarum itu kemudian dibahas oleh para petinggi Jawa Barat. Ketika Presiden Joko Widodo meresmikan tol Soreang-Pasir Koja pada Desember 2018, seperti ditulis Tempo edisi 29 April 2018, Doni Monardo bersama Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan memaparkan rencananya memperbaiki Citarum. Doni mengajukan usul perbaikan di bawah nama Citarum Harum. Pertengahan Maret 2018, Jokowi meresmikan program itu dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15/2018.
Aturan itu tentang pembentukan satuan tugas Citarum dengan nama resmi Program Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DAS Citarum. Ahmad Heryawan jadi komandannya, Doni menjadi wakil, di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan. Sejak itu perbaikan Citarum makin serius.
Nama Citarum Harum, yang dicetuskan Doni Monardo, menjadi merek program yang akan berlangsung selama tujuh tahun itu. Pendanaannya, selain dari anggaran daerah, juga melalui donasi pengusaha lewat Yayasan Citarum Harum. Tentara yang bekerja mengeduk sampah itu mendapat upah Rp 65 ribu per hari.
Butuh tiga bulan mengeduk sampah di Cisanti yang luasnya 5 hektare. “Terlalu banyak sampah di sana,” kata Irma Hutabarat, yang tiga tahun sebelum Citarum Harum sudah datang ke Cisanti menanam vetiver. Berkat Irma pula Doni mendapat insight soal Cisanti. “Dia tentara yang hijau sekali,” kata Irma.
Citarum punya banyak alasan dan syarat mendapat julukan sungai terkotor. Achmad Sjarmidi, anggota tim Citarum Harum dan Akselerasi Pembangunan Provinsi Jawa Barat, pernah meneliti spesies ikan di Cisanti. Ia hanya menemukan empat jenis, itu pun dua jenisnya adalah ikan mas. “Citarum sudah sakit parah,” kata dia. “Cisanti sebelum dibersihkan persis kolam pembuangan limbah.”
Di badan sungai Citarum, Kepala Loka Riset Pemacuan Stok Ikan di Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Didik Wahju Hendro Tjahjo, menyimpulkan 14 jenis ikan asli Citarum punah dalam 40 tahun hingga 2007. Ikan tak bisa beradaptasi dengan racun limbah yang dibuang pabrik dan masyarakat.
Limbah pabrik itu adalah problem utama Citarum. Hampir 3.000 pabrik di 11 kabupaten yang menggantungkan pembuangan limbahnya ke Citarum. Membuang limbah ke sungai sebetulnya tak masalah asal diolah lebih dulu di instalasi pengolah sehingga limbah menjadi netral. Masalahnya hanya 47 persen pabrik yang dilengkapi IPAL. Itu pun diduga rumah IPAL mereka hanya pajangan belaka. “Memang banyak yang tak mengolahnya karena alasan biaya mahal,” kata Bambang Rianto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat.
Selain itu penegakan hukumnya juga lemah. Sebelum ada Citarum Harum, Koalisi Melawan Limbah berkali-kali menggugat ke pengadilan pabrik tekstil yang diduga membuang limbah langsung ke anak-anak sungai Citarum. Karena perusak lingkungan belum dianggap tindakan pidana, mereka dihukum ringan bahkan bebas. “Padahal Undang-Undang 32/2009 jelas mengatur sanksi bui, denda, dan kewajiban memperbaiki kerusakan,” kata Dadan Ramdan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat.
Penegakan hukum kian lemah karena urusan hukum menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten karena mereka yang memberi izin operasional pabrik. Pemerintah provinsi hanya mengawasi dan polisi hanya menunggu tindakan penyidik pegawai negeri. Apalagi, kata Bambang Rianto, jumlah penyidik pegawai negeri sangat kurang. Tiap kabupaten hanya punya empat personel. “Mereka kucing-kucingan dengan pemilik pabrik,” katanya.
Jumlah kasus pidana yang sedikit makin diperparah oleh pengawasannya. Pemerintah sudah menutup pabrik yang tak punya IPAL, tapi banyak yang buka kembali setelah selang beberapa waktu karena jumlahnya banyak sementara petugasnya sedikit. “Seperti ada perusahaan cuci pakaian yang buka setelah ditutup,” kata Dadan.
Penegakan hukum yang loyo itu membuat program perbaikan Citarum selalu kandas. Menurut Wahyudin, Kepala Sub Direktorat Tata ruang Permukiman Sumber Daya Alam Kabupaten Bandung, perbaikan Citarum sebenarnya sudah dimulai sejak 1976 dengan nama-nama yang menggemaskan. Ada Citarum Bergetar, Citarum Lestari, Citarum Bestari. Tapi tiap program menguap tanpa hasil karena kejahatan lingkungan tak pernah masuk ranah pidana. Pabrik pembuang limbah bebas membuangnya ke Citarum melalui 17 anak sungainya.
Kini Citarum Harum lumayan bergaung. Selain karena diatur melalui peraturan presiden, sehingga skalanya nasional, instansi yang terlibat juga banyak. Tiap lembaga mesti berkoordinasi dalam Satgas sejak mulai pembibitan hingga pengerukan sampah di Muara Gembong. Komandan-komandan sektor sepanjang Citarum tak segan mengecor lubang pipa pabrik yang membuang cairan panas ke sungai.
Keterlibatan tentara tak selalu disambut dengan suka cita. Bagi Dadan Ramdan, masuknya tentara sebuah ironi karena lembaga sipil tak bisa berbuat banyak memperbaiki Citarum. Gugatan-gugatan Walhi terhadap pabrik pembuang limbah ke pengadilan tak diikuti oleh pemerintah daerah. “Harusnya cukup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta masyarakat dan komunitas,” kata dia. “Karena ini bukan darurat perang.”
Tidak bisa dipungkiri TNI punya peran penting dalam pemulihan Cisanti dan badan sungai Citarum. Danau seluas lima hektare yang menampung tujuh mata air itu kini bersih dan bening. Tak ada lagi pemancing dan peziarah yang menginap buka tenda lalu buang sial segala bawaannya ke tengah danau setelah berendam semalaman di mata airnya. “Walaupun tetap saja suka kecolongan dengan pemancing,” kata Prajurit Satu Asep Sopian yang berjaga di Cisanti.
Jumlah pohon yang ditanam di hulu Citarum juga terus digeber. Kodam Siliwangi mendirikan tempat pembibitan pohon keras di lahan Perhutani yang dulu diserobot penduduk dengan tanaman sayuran. Sembari memelihara pelbagai bibit tanaman keras, para tentara juga pelan-pelan membujuk masyarakat agar beralih menanam tanaman keras di kebun yang mereka olah. “Tidak bisa sekaligus berubah karena mereka juga butuh penghasilan,” kata Sersan Dua Oman Somantri.
Para tentara mempraktikkan sistem agroforestri. Dua lajur tanaman keras, diselingi sayuran, sehingga tanah di punggung-punggung bukit itu menjadi kuat. Sembari mengurus sayuran, para petani memelihara pohon-pohon yang ditanam di sekitarnya. “Kami belajar semua ilmu tanam menanam di sini, langsung praktik,” kata Oman.
Menurut Oman, selama setahun program Citarum Harum, para tentara sudah menanam 2,7 juta pohon. Setiap hari 200 prajurit di blok pembibitan menanam 3.000-4.000 pohon karena mereka mengejar target penanaman 12 juta pohon pada 2024 di Gunung Wayang. “Ini di luar pohon yang ditanam masyarakat,” kata Oman.
Para tentara menyilakan siapa pun yang meminta bibit pohon mengambilnya asalkan ditanam dengan benar. Di Gunung Wayang ada 26 petak yang akan ditanami. Satu petak rata-rata 60 hektare. “Dulu bukit itu gundul sampai banjir lumpur ke sini,” kata Letnan Satu Fathurrahman menunjuk bukit di seberang rumah persemaian.
Kini bukit sudah menghijau karena pohon-pohon mulai tumbuh. Di kebun bibit ini ada banyak jenis pohon keras dan buah-buahan. Sampai April 2019, ada 69 jenis yang mereka semaikan, di luar bibit kopi yang baru ditanam. Menurut Fathur, masyarakat senang meminta bibit kopi karena tanaman ini bisa menghasilkan secara ekonomi sekaligus akarnya menguatkan tanah.
Perbaikan-perbaikan itu baru permulaan. Menurut Dadan Ramdan, Citarum Harum seharusnya melibatkan lebih banyak masyarakat dan komunitas karena problem utama pencemaran adalah kesadaran yang buruk dalam mengelola limbah. Tanpa melibatkan masyarakat sebagai eksekutor Citarum Harum akan lambat perkembangannya. “Apalagi tak ada pemantau indepeden atas program ini,” kata Dadan.
Bagi lembaga-lembaga sipil seperti Walhi, kata Dadan, tim pengawasn independen sangat penting karena Citarum Harum sebuah program besar, dengan dana sekitar Rp 7 triliun, yang rentan korupsi dan tidak tepat sasaran. “Setahun berjalan belum ada skema pengawasan, untuk anggaran, substansi program, maupun teknis,” kata dia.
Memet Mochamad Rahmat mengamininya. Penduduk Desa Tanggulan ini menilai Citarum Harum belum berhasil secara signifikan memperbaiki sungai yang panjang dan luas serta menyangkut 28 juta penduduk Jawa Barat. “Setahun belum apa-apa,” kata laki-laki 58 tahun ini. “Untuk menangani Gunung Wayang dan Cisanti saja harus melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat agar signifikan.”
Kontributor:
Siti Sadida Hafsyah, Fitri Andriani, Razi Aulia Rahman, Dewi PRN
Foto: Kondisi sungai Citarum di Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (Foto: Donny Iqbal/Yayasan Rekam Nusantara)